Sering kita mendengar pepatah "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya" atau istilah "Like father like son". Pepatah dan istilah tersebut seolah-olah menggambarkan sikap, karakter, kesukaan dan hal-hal yang berkaitan dengan anak bisa menurun begitu saja dari orang tua. Padahal dibalik itu semua, butuh proses panjang yang biasa disebut dengan pengasuhan. Pola asuh setiap orang tua akan berperan besar dalam kehidupan sang anak karena setiap orang tua adalah guru paling pertama dan utama bagi anak-anaknya.
Banyak orang tua lupa bahwa "mendidik" anak adalah tugas mereka, bukan hanya tugas guru di sekolah. Orang tua berlomba-lomba memasukkan anak mereka ke sekolah yang bagus agar mendapat pendidikan yang berkualitas, namun lupa membersamai mereka di luar sekolah. Padahal seharusnya orang tua mengambil bagian terpenting dari setiap proses "mendidik" anak-anaknya, terutama di usia dini karena pendidikan bukan hanya penyaluran pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter dan kepribadian.
Membersamai dan mendidik anak memang bukan hal yang mudah, apalagi di masa balita dimana pendidikan yang kita berikan akan menjadi pondasi mereka hingga dewasa kelak. Banyak buku-buku dan teori-teori parenting yang diterbitkan sebagai bekal para orang tua untuk belajar, namun di luar buku-buku tersebut, ada semboyan dari Tokoh Nasional yang layak dijadikan acuan dalam mendidik anak-anak kita. Semboyan tersebut berasal dari Bapak Pendidikan Nasional yaitu Ki Hajar Dewantara. Semboyan tersebut berbunyi "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani", yang artinya di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan.
Menurut berbagai teori, pendidikan anak dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase pertama (0-7 tahun), fase kedua (7-14 tahun), dan fase ketiga (14-21 tahun). Pada 3 fase inilah semboyan yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara tersebut dapat diterapkan. Ing ngarsa sung tuladha (Di depan memberi contoh) untuk fase pertama, ing madya mangun karsa (Di tengah memberi semangat) untuk fase kedua, dan tut wuri handayani (Di belakang memberi dorongan) untuk fase ketiga.
Penerapan "Ing ngarso sung tulodo" pada fase pertama kehidupan anak bisa berarti orang tua di depan memberi contoh kepada anak-anaknya. Anak-anak pada usia ini adalah peniru ulung. Meniru adalah kemampuan paling dasar yang dimiliki anak-anak. Mereka senang sekali menirukan apa saja yang ada disekitar, mulai aktifitas orang tua seperti menyapu, bunyi suara mobil, hingga gerakan hewan-hewan yang menurut mereka unik. Dengan memberikan contoh yang baik, diharapkan anak akan meniru kebiasaan baik yang orang tua lakukan setiap hari.
Ing madyo mangun karso, atau di tengah memberi semangat ini cocok diterapkan pada usia anak-anak hingga usia remaja. Pada fase ini yang dibutuhkan anak adalah seorang pembimbing yang mendampingi di samping mereka. Mendengarkan kisah sehari-harinya, menemani dalam rutinitasnya, serta memberikan semangat pada setiap proses jatuh bangunnya. Jika fase pertama diibaratkan kita sedang membangun pondasi, dimana kita fokus menanamkan hal-hal baik dalam diri anak, pada fase kedua ini rumah mulai dibangun. Anak akan semakin banyak belajar hal-hal baru sebagai bekalnya masuk ke fase berikutnya. Termasuk belajar tentang kemandirian.
Ketika anak sudah menginjak usia remaja, mereka sudah mulai bisa mandiri. Mereka mulai ingin membuat keputusan-keputusan penting dalam hidupnya tanpa campur tangan orang lain. Seperti memilih sekolah, memilih jurusan, memilih mata pelajaran, memilih les yang ingin diikuti, dan lain sebagainya. Tut wuri handayani yang berarti belakang memberi dorongan ini adalah gambaran orang tua pada fase ini. Orang tua tidak banyak lagi membimbing anak-anaknya. Orang tua hanya perlu mengamati dan memberikan dorongan serta masukan jika diminta. Pada fase ini orang tua perlu berperan sebagai sahabat bagi anak-anaknya. Sahabat yang selalu ada bagi mereka, siap mendengar keluh kesah jika dibutuhkan, namun juga berani menegur ketika anak berbuat salah.
Komentar
Posting Komentar